Hukum Oral Sex dalam Islam | Dalam rangka memuaskan pasangan antara suami istri, Islam membebaskan trik dan gaya bercinta antara keduanya selama tidak bertentangan dengan aturan syariat. Termasuk pula dalam melakukannya dengan gaya oral seks. Hal ini tidak termasuk larangan dalam agama.
Orang yang melakukan oral, sebagian dari mereka, sudah banyak yang dalam kondisi ereksi atau tegang sehingga tidak jarang para pasangan suami-istri ini sudah mengeluarkan pelumas berupa cairan bening atau biasa disebut dengan istilah madzi.
Jika ditelisik lebih dalam, selain air kencing, ada tiga jenis air yang keluar dari kemaluan manusia, yaitu :
- Pertama, air sperma (mani). Sperma bisa diidentifikasi dari salah satu beberapa cirinya, yaitu keluar dengan memancar dan tersendat, ada bau yang khas seperti adonan roti/kue, terasa nikmat saat air itu keluar.
- Kedua, air wadi, yaitu air keruh, kental yang biasa keluar setelah orang mengeluarkan air kencing mungkin disebabkan faktor capai atau hal lain.
- Ketiga, air madzi, yaitu air bening yang keluar dari kemaluan, baik dari seorang pria maupun wanita yang biasanya disebabkan karena faktor syahwat. Baik disebabkan karena membayangkan, melihat atau sedang pemanasan (foreplay).
Di antara semua air yang keluar tersebut hukumnya najis kecuali sperma. Seseorang yang mengeluarkan sperma, wajib mandi. Sedangkan wadi dan madzi hanya mewajibkan wudhu, tidak harus mandi, serta harus dibersihkan sebagaimana membersihkan najis seperti biasanya.
Bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan intim, tentu sangat kesulitan jika harus menghindari madzi ini. Karena madzi memang diciptakan Allah untuk melengkapi kegiatan jima’ yang dilegalkan dalam syara’ bagi pasangan yang sah.
Ia menjadi pelumas untuk sebuah lancarnya hubungan senggama. Padahal apabila kita melihat fiqih dasarnya, ada sebuah aturan bahwa seseorang tidak diperkenankan mengotori tubuh dengan najis tanpa ada alasan yang jelas, apalagi memasukkan najis tersebut ke dalam tubuh, tentu tidak diperbolehkan.
Madzi merupakan cairan najis. Ia berlaku hukum yang sama. Artinya tidak boleh sampai masuk ke dalam tubuh, termasuk masuk ke kelamin seorang istri. Tetapi karena hal ini sangat sulit dihindari, maka syara’ memberikan toleransi sehingga madzi bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan suami-istri hukumnya dima’fu (diampuni).
ومحل طهارة المنى ان كان رأس الذكر والفرج الذى خرج منه المنى طاهرا والا كان متنجسا وحرم الجماع كالمستنجى بالحجر اذا خرج منه منى فانه يتنجس به نعم يعفى عمن ابتلى به بالنسبة للجماع إهـ
Artinya :
“Tempat sucinya sperma itu jika memang kepala batang dzakar dan farji yang keluar murni berupa mani yang suci. Jika tidak murni suci, hukumnya (mani itu) najis dan haram bersenggama dengan kondisi seperti demikian sebagaimana orang orang istinja’ dengan batu ketika air sperma keluar dari situ. Karena hal itu menjadikan najis. Iya, diampuni dari orang yang kesulitan menghindari hal tersebut dengan nisbat untuk jima’,” (Lihat I’anatuth Thalibin, juz I, halaman 85).
Hukum ma’fu hanya mempunyai arti diampuni, tidak mengubah status najis menjadi suci. Maksudnya najis tetap najis, tidak bisa berubah menjadi suci. Madzi itu najis. Selamanya, hukum madzi tetap najis. Tidak bakal berubah menjadi suci.
Hanya saja, bagi suami istri yang sedang bercinta, cairan ini diampuni. Sedangkan madzi jika dalam kondisi selain jima’, hukumnya tetap najis. Contoh, darah nyamuk yang sedikit itu hukumnya najis, tetapi dima’fu jika terkena tubuh atau pakaian. Ini dinisbatkan untuk shalat.
Jadi orang yang tangannya terkena darah nyamuk, boleh langsung melaksanakan shalat tanpa harus membersihkan darah tersebut karena dima’fu. Diampuninya darah pada tangan untuk shalat ini tidak berlaku apabila tangan yang terkena darah nyamuk kemudian dicelupkan ke dalam air satu gelas untuk kemudian diminum.
Jika dicelupkan ke dalam air segelas, semua air dalam gelas menjadi najis. Ia dima’fu untuk shalat namun tidak dima’fu untuk diminum. Kembali tentang pembahasan madzi. Madzi merupakan kebutuhan wajib bagi pasangan senggama dan sangat sulit menghindarinya.
Oleh karena itu hukumnya dima’fu. Tetapi dima’funya ini tidak berlaku jika madzi masuk mulut bagi orang yang melakukan oral seks. Karena mulut itu bukan tujuan utama orang bercinta yang madzi tidak diciptakan untuk menjadi pelumas mulut, namun pelumas vagina.
Di sinilah alasan sebagian ulama yang tidak memperbolehkan oral seks itu karena hampir pasti akan ada pelumas yang masuk ke mulut. Ini tidak boleh. Adapun ulama yang memperbolehkan oral seks, mereka tidak melihat dari sudut pandang najis tidaknya madzi. Mereka lebih melihat pada hukum dasar bahwa hal tersebut diperbolehkan tanpa memandang hukum madzi.
Mungkin saja ada orang yang hubungan senggamanya kering sehingga ia tidak punya madzi. Jadi tidak mempunyai alasan untuk melarang hubungan oral seks.
Kesimpulannya :
- Pertama, madzi atau air lubricant yang diproduksi tubuh hukumnya najis tetapi dima’fu jika masuk ke vagina istrinya karena hal ini sangat susah untuk dihindari.
- Kedua, oral seks diperbolehkan namun tidak boleh mengabaikan hukum bahwa madzi atau cairan yang masuk ke mulut hukumnya adalah najis. Ia dima’fu jika masuk ke liang vagina saja. Jika masuk ke mulut, itu bukan keadaan yang sulit dihindari, maka hukumnya tetap najis tidak dima’fu.
- Ketiga, pasangan yang ingin melakukan hubungan oral seks bisa memakai kondom yang suci supaya yang masuk ke mulut adalah benda suci. Jika tidak memakai kondom, apabila ada najis yang masuk ke mulut, harus segera dikeluarkan kembali, tidak boleh ditelan. Setelah itu mulutnya harus disucikan secepatnya dengan mekanisme pembersihan najis sebagaimana pada umumnya yaitu dengan berkumur dan lain sebagainya. (Ahmad Mundzir)
Baiklah demikian sharing kami tentang Hukum Oral Sex dalam Islam, semoga bermanfaat untuk sahabat muslim dimanapun anda berada. Aamiin